SAHABAT UNTUK DIBERI

Maret 14, 2011 § 1 Komentar

Bismillahirrahmanirrahiim. . .

Tergugah untuk membuka kembali dan menuliskan kembali untuk kawan-kawan MP-ers sebuah buku apik karya Ust. Salim A. Fillah yang berjudul Dalam Dekapan Ukhuwah. Tergugahnya hati saya untuk menulis kembali bagian dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini setelah melihat tulisan seorang kawan Menjaga, Menata, Lalu Bercahaya.

Walau saduran, semoga bermanfaat. . .

Sebuah kisah kelanjutan tentang ukhuwah luar biasa dari Salman Al Farisi dan Abud Darda’

Pada suatu hari Salman berjumpa degan istri Abud Darda’. Dilihatnya ada kabut membayang di wajah wanita shalihah yang pernah menjadi pilihan hatinya itu. Diberanikannya untuk menyapa karena dia telah berjanji pada dirinya untuk melakukan segala yang dibisa demi kebahagiaan mereka berdua. Duka mereka pasti akan menjadi urusannya.

“Bagaimana keadaanmu dan suamimu?” tanya Salman. “Kami baik alhamdulillah.” Jawab Ummud Darda’ sembari menunduk. “Adapun Abud Darda’, adalah dia tak lagi punya kepentingan dengan urusan dunia.”

“Jelaskanlah!” desak Salman. “Alhamdulillah tak satu pun siang hari berlalu kecuali dia menjalaninya dengan berpuasa. Dan alhamdulillah, dia shalat malam dan membaca Al qur’an sepanjang gelap dari Isya hingga Subuhnya.”

Bayangkanlah diri kita sebagai seorang lelaki pada umumnya. Lelaki yang kini mengetahui bahwa wanita yang pernah menjadi hasil istikharah kita tetapi lebih meilih sahabat kita itu, telah ‘disia-siakan’ oleh suaminya. Ada godaan-godaan tentunya untuk bicara tak sepantasnya. Ada peluang-peluang untuk menuipkan sesal bagi dia yang tak memilih kita. Ada bisikan-bisikan untuk mengambil kesempatan di kala persoalan sedang membelit mereka.

Tetapi Salman bukan kita. Dan Abud Darda’ bukannya menyia-nyiakan istrinya dalam arti yang akrab di kehidupan kita hari ini. Dia hanya terlalu bersemangat menenggelamkan diri pada kekhusyu’an ibadah hingga agak abai pada hak-hak keluarganya. Maka mari belajar pada Salman tidak hanya untuk tak ikut campur pada urusan rumahtangga orang lain, melainkan juga bertindak demi kebahagiaan mereka yang dicintai.

“Serahkanlah urusan ini padaku,” juar Salman pada wanita itu.

Maka pada malam itulah Salman bertamu ke rumah saudaranya yang terkasih, Abud Darda’. Bahkan dia meminta izin untuk menginap di rumah sang kawan sekaligus tidur di kamar Abud Darda’ yang telah berubah menjadi mushalla.

“Baiklah, silakan wahai Saudaraku dalam rahim Islam,” ujar Abud Darda’ jengah.

Malam pun beranjak dan tiba saatnya Abud Darda’ berdiri menghadap Allah sesuai waktu yang telah dijadwalkannya sendiri. “Salman Saudaraku,” ujarnya, “Silakan beristirahat. Aku harus berdiri untuk menunaikan hak Rabbku.”

Salman tersenyum. “Saudaraku,” kata Salman sembari menatap Abud Darda’, “Aku bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, mulai malam ini kedua kelopak mataku takkan kukatupkan selamanya hingga akhir hidup. Kecuali engkau pun juga mau tidur sebagaimana aku beristirahat.”

“Apa maksudnya itu?”

“Demikianlah sumpahku telah terucap.”

“Cabutlah!”

“Tidak.”

Malam itu keteguhan hati Salman untuk membujuk Abud Darda’ beristirahat telah meluluhkan niat sahabatnya dalam menghabiskan malam untuk ibadah. Abud Darda’ pun turut tertidur. Hingga menjelang subuh, Sa
lman membangunkan sahabatnya itu. ”Masih ada sedikit waktu setelah istirahatmu,” kata Salman, “Untuk memenuhi hak Rabbmu.”

Pagi menjelang dan Abud Darda’ tampak lebih segar dari biasanya. Sang istri memasak hidangan istimewa untuk mereka berdua. Meja telah disesaki kurma, susu, roti tepung sya’ir, dan paha kambing yang harum. Abud Darda’ mempersilakan tamunya ke ruang jamuan.

“Makanlah Saudaraku!” ujar Abud Darda’, “Adapun aku telah berniat untuk puasa hari ini.”

Lagi-lagi Salman tersenyum. “Aku juga bersumpah dengan Szat yang jiwaku dalam genggaman-Nya,” kata Salman, “Bahwa sejak pagi hari ini takkan ada sesuap pun makanan yang akan lewat di kerongkonganku hingga ajal menjemput. Kecuali kau juga makan bersamaku di pagi yang indah ini.”

“Demi Allah itu sumpah yang batil!”, tukas Abud Darda’.

“Hanya engkaulah yang bisa membatalkannya dengan ikut makan bersamaku.”

Lagi-lagi, Salman berhasil meruntuhkan niat Abud Darda’ untuk berpuasa di hari terik itu. Abud Darda’ dengan terpaksa ikut makan. Tapi harus diakuinya, bahwa hidangan pagi ini memang begitu istimewa dan terasa lezat baginya. Usai menikmati santapan yang nikmat itu tampillah Salman dengan nasihat agungnya.

“Sesungguhnya,” tegas Salman, “Rabbmu memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya, tubuhmu juga memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya kkeluargamu juga memiliki hak atas dirimu. Berbuat adillah kepada mereka dalam mengabdikan diri kepada Rabbmu.”

Kisah yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari pada perihal membuat makanan di Kitab Adab dalah Shahih-nya ini tersambung dengan menghadapnya Abud Darda’ pada sang Nabi. Diadukanlahulah saudaranya itu yang telah menggagalkan ibadah-ibadah dalam kunjungan ke rumahnya. Disampaikannya pula nasehat Salman. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, “Salman benar adanya. Seorang penasehat yang tulus hati.”

-selesai-

Sebuah renungan mendalam untuk diri ini akan sebuah hakikat ketulusan dan ukhuwah serta kelembutan sikap hanya karena Allah. Hanya karena Allah…

§ 1 Responses to SAHABAT UNTUK DIBERI

Tinggalkan Balasan ke UAS Mentoring AEI | Firdha Cahya Alam Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading SAHABAT UNTUK DIBERI at Mutsaqqif.

meta